KOPI MAKRIFAT DARI SIRRUL-ASRAR
Sayyid Yahya bin Mu’ad Ar-Razi pernah ditanya, “Wahai Syekh, dengan apa engkau bermakrifat kepada Allah?” Beliau menjawab, “Dengan berpadunya sesuatu yang berlawanan.”
Maka dari itu, manusia adalah gambaran dari Ummul-Kitab dan merupakan cerminan dari Allah SWT dalam kemuliaan dan keindahan.
Sayyid Yahya bin Mu’ad Ar-Razi pernah ditanya, “Wahai Syekh, dengan apa engkau bermakrifat kepada Allah?” Beliau menjawab, “Dengan berpadunya sesuatu yang berlawanan.”
Maka dari itu, manusia adalah gambaran dari Ummul-Kitab dan merupakan cerminan dari Allah SWT dalam kemuliaan dan keindahan.
Manusia juga merupakan cerimanan dari semua makhluk. Dengan keterpaduan
tersebut, manusia akhirnya dijuluki dengan Kaunan Jami’an dan ‘Alaman
Qubra, karena Allah SWT menciptakan dengan dua kekuasaan-Nya, yaitu
dengan sifat memaksa (al-qahr) dan sifat lemah lembut (al-luthf). Dan,
cermin itu memiliki dua sisi, yakni sisi kasar dan sisi halus. Oleh
sebab itu, manusia merupakan simbol bagi manifestasi semua asma atau
sifat Allah SWT. Hal tersebut berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain.
Makhluk-makhluk yang lain diciptakan hanya dengan satu kekuasaan atau
sifat Allah saja.
Misalnya malaikat, mereka hanya diciptkan dari satu sifat kemaha-lembutan Allah SWT saja. Mereka adalah manifestasi dari asma Allah SWT, As-Subhuh dan Al-Quddus. Sedangkan Iblis dan keturunannya diciptakan dari sifat al-qahr saja. Hal tersebut merupakan manifestasi dari asma Allah SWT, yakni Al-Jabbar. Maka wajar jika kemudian mereka sombong dan tidak mau bersujud kepada Adam a.s.
Ketika manusia-manusia khusus “terpadu” di dalam dirinya sifat makhluk dari yang terendah hingga yang tertinggi, maka para nabi dan para wali pun tidak luput dari kesalahan. Para nabi misalnya, mereka terjaga dari perbuatan dosa besar setelah diangkat dari kenabian dan kerasulan. Tapi, mereka tidak terjaga dari dosa-dosa kecil. Sedangkan para wali tidaklah (terjaga seperti nabi). Namun, ada yang berpendapat bahwa mereka dijaga dari dosa-dosa besar setelah derajat kewaliannya sempurna.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul Asrar wa Mazhharul-Anwar.
Misalnya malaikat, mereka hanya diciptkan dari satu sifat kemaha-lembutan Allah SWT saja. Mereka adalah manifestasi dari asma Allah SWT, As-Subhuh dan Al-Quddus. Sedangkan Iblis dan keturunannya diciptakan dari sifat al-qahr saja. Hal tersebut merupakan manifestasi dari asma Allah SWT, yakni Al-Jabbar. Maka wajar jika kemudian mereka sombong dan tidak mau bersujud kepada Adam a.s.
Ketika manusia-manusia khusus “terpadu” di dalam dirinya sifat makhluk dari yang terendah hingga yang tertinggi, maka para nabi dan para wali pun tidak luput dari kesalahan. Para nabi misalnya, mereka terjaga dari perbuatan dosa besar setelah diangkat dari kenabian dan kerasulan. Tapi, mereka tidak terjaga dari dosa-dosa kecil. Sedangkan para wali tidaklah (terjaga seperti nabi). Namun, ada yang berpendapat bahwa mereka dijaga dari dosa-dosa besar setelah derajat kewaliannya sempurna.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul Asrar wa Mazhharul-Anwar.